Sunday, 23 October 2016

THE APART-MENT Chapter 2-3

THE APART-MENT Chapter 2-3

Aku pun berjalan di sebelah nyonya Shelly, sedangkan tuan Tucker berjalan tepat di belakang kami sambil menarik koperku. Sampai di depan gerbang besar itu, kembali nyonya Shelly mengeluar-kan rentengan kunci dari dalam saku bajunya. Dalam hati aku berkata, mungkin ini akan memakan waktu yang cukup lama lagi. Namun ternyata tidak; tak lama terdengar suara “klik”, dan ternyata gembok pagar itu sudah berhasil dibuka. Hmmm, lebih cepat dari dugaanku. Setelah gerbang dibuka, tuan Tucker yang pertama melangkah masuk lalu dia berbelok ke kanan dan menaikkan sebuah tuas besar yang sepertinya berada di balik pagar. Sesaat setelah tuas dinaikkan, ada bunyi “ziuuuut!” – seperti bunyi aliran listrik, tak lama semua penerangan out door di tempat itu pun menyala. Aku sungguh dibuat tercengang. Mataku terbelalak, mulutku terbuka lebar sejadinya; seperti raksasa yang akan menyantap potongan paha domba ekstra besar yang di panggang. Begitu banyak daya penerangan yang dipakai untuk menerangi halaman luar atau taman villa itu, sampai-sampai terasa seperti siang hari. Di antara bias cahaya lampu-lampu taman, aku melihat satu bangunan yang berdiri dengan megahnya; itulah villa Grand Shade yang begitu terkenal, bangunan villa itu begitu gaya dengan tulisan mesir kuno yang terukir apik pada pintu batu yang menjadi pintu utama villa.                                        

“Jangan terkejut dulu, nona Bricks, anda belum melihat semuanya”, ucap tuan Tucker padaku yang sedang terkagum-kagum dengan keeksotisan tempat ini. Kami berjalan menyusuri halaman depan villa yang dilengkapi dengan kolam ikan yang cukup luas dengan hiasan patung kuda hitam yang tengah berdiri dengan gagahnya dengan kedua kaki belakang dan dua kaki depannya seperti gaya orang yang sedang meninju.                          

“Patung kuda itu didapat dari hasil pelelangan besar-besaran 50 tahun lalu. Tuan Richard Banner benar-benar orang yang sangat hebat. Dia memenangkan patung itu hanya dengan satu kali ajuan harga “$40.000”, katanya waktu itu; begitu palu habis diketukkan 3 kali, patung ini sah menjadi milik tuan Banner.”, begitu kata tuan Tucker sambil memandangi patung kuda itu.                                   

Aku terdiam sesaat sambil memandangi patung itu dari atas hingga ke bawah dengan mata semakin terbelalak. Patung itu sungguh keren, tapi aku penasaran mengapa ayah pak James sangat menginginkan patung kuda yang sangat mahal itu dan hatiku tergelitik untuk bertanya lebih lanjut kepada tuan Tucker. “Wow, itu sangatlah mengesankan, Tuan Tucker. Tapi kenapa seseorang rela mengeluarkan banyak dana hanya untuk sebuah patung?” tanyaku.                    

“Itu karena ayahku” jawab nyonya Shelly.     

“Ayahku mengenal betul siapa ayah mertuaku itu; mereka berdua adalah rekan kerja saat tugas akhir kuliah. Aku dan ayahku menghadiri pelelangan itu dan itu adalah kali pertamaku bertemu dengan ayah mertuaku, Richard Banner, yang waktu itu ditemani oleh anak laki-lakinya yang sekarang sudah menjadi suamiku. Saat itu ayahku berkata kepada ayah mertuaku bahwa patung itu dibuat dari 4 jenis elemen, yaitu: besi sebagai rangkanya, kayu pohon pinus dipakai sebagai bahan utama pada kepala sampai leher kuda, bongkahan batu raksasa yang diukir membentuk bagian tubuh sampai pada ekor kuda, sedangkan yang terakhir adalah tembaga untuk bagian kakinya. Dan semua bagian tubuh patung kuda itu dicat hitam agar orang-orang tak mengetahui detailnya. Mendengar hal itu pun, aku merasa penasaran dan juga ingin tahu mengapa patung itu harus dibuat dari 4 bahan yang berbeda-beda; tapi ku biarkan misteri itu menjadi seni tersendiri yang membuat patung itu kelihatan gagah sekaligus misterius.

Langkah kami berlanjut menyusuri jalan lurus dengan pohon-pohon rendah di kanan-kirinya seperti boulevard. Langkah kakiku semakin kikuk saat mulai mendekati bangunan villa. Diletakkannya koperku dan tangan besarnya mulai menggeser pintu batu berukir yang kokoh itu ke sisi kanan dan kiri; wow, tuan Tucker memang orang yang kuat – yaaah, meskipun dia sudah sedikit agak tua – yak ayal dia sangat cocok dengan pekerjaan seperti ini. Batinku.   

“Ayo masuk lah.” kata nyonya Shelly.                                                         

Mereka mengijinkanku melakukan langkah pertama memasukki pintu itu; saat aku berhasil mendaratkan kakiku dengan ragu ke dalam, sekilas kudengar suara klik dibawah kakiku dan dalam hitungan detik lampu-lampu dan api di perapian mulai menyala. Rupanya, bunyi itu adalah bunyi sebuah saklar yang tertanam di bawah lantai kayu tepat di depan pintu masuk. Itu tidak biasa menurutku. Saat lampu mulai menyala, aku melihat betapa suasana di dalam villa ini benar-benar seperti yang digambarkan oleh orang-orang. Semua sudut terlihat begitu istimewa dan aku tak percaya aku telah menginjakkan kaki di tempat yang katanya telah banyak mencuri hati para pengunjung bertahun-tahun lalu. Aku tak sabar ingin segera menjelajahi seluruh ruangan ini karena ini akan menjadi tempat tinggalku sampai satu bulan kedepan. Atau lebih.

Tempat ini indah dan elok, namun aku masih tak bisa melupakan cerita misteri yang seram dibaliknya. Aku sempat bertanya kepada diriku sendiri apakah aku akan tetap melanjutkan liburan di tempat ini atau tidak. “Bagaimana, Lilian?” suara nyonya Shelly menyadarkanku dari lamunan.    “Ini...benar-benar...wow! A-aaku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Ini luar biasa!” aku menjawab dengan terbata karena aku begitu terpana, sampai-sampai aku tak tahu harus berkata apa lagi.                          

“Nah, nona Bricks, sekarang anda bisa bebas tercengang. Saya tahu anda sudah tidak bisa menahannya, iya kan,,, hahahaha...” gurauan Tn. Tucker membuatku tersipu enggan.                                                                                                     

“Haruskah kami meninggalkan anda sendiri supaya anda bisa langsung menjelajahi tempat ini ruangan tiap ruangan?” lanjut Tn. Tucker sambil tersenyum lebar.                                                                                                             

“Lilian...,” suara nyonya Shelly membuyarkan sipuku.                                    

“Ya, Nyonya” sahutku lekas.                                                                         

“Ambil ini dan jangan lupa seringlah menghubungi aku, suamiku atau Tn. Tucker, bila kau butuh bantuan. Sekali pun tempat ini indah, jangan selalu terpaku dan hanya ingin menghabiskan waktu di dalam saja. Aku tidak ingin kejadian yang lalu terjadi juga padamu. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku tak ingin itu terjadi lagi. Semua orang juga berharap begitu.” Pesan nyonya Shelly sambil memberikan sebuah kunci dan dua nomor telepon atas nama Banner dan Tucker.                                                                                                

“Hmmm, nyonya, aku punya beberapa pertanyaan tentang,,, hmmm, bagaimana aku bisa mendapatkan menu makanku tiga kali sehari? Dan seandainya nanti...” 

“Tenang saja, Lilian. Di rak buku di dalam ada buku pentunjuk yang bisa memandu dan membeitahumu segala sesuatu tentang tempat ini, termasuk soal menu yang kau tanyakan. Tapi maaf jika buku-buku itu sudah sedikit terlihat usang; yang penting masih bisa dibaca dan bersih. Semuanya sudah lengkap tertera di sana.” sahut Tn. Tucker.                                                                        

“Baiklah Lilian, kami harus pergi. Rupanya suamiku tak jadi menyusul kita kemari. Mungkin dia masih merasa kecewa padaku. Segeralah beristirahat, besok pagi aku dan suamiku akan datang untuk membawakan sarapan. Hitung-hitung, itu sebagai permintaan maaf kami atas ketidaknyamanan yang terjadi di awal.” sambutan dan kata-kata ramah nyonya Shelly menjadi awal liburanku yang sesungguhnya.   

Lalu mereka pun pergi dan tinggallah aku sendiri di bangunan asing yang luas itu. 
Baca selengkapnya

Friday, 21 October 2016

THE APART-MENT Chapter 2-2

THE APART-MENT Chapter 2-2

Suasana di dalam mobil begitu hening; aku melihat ke arah nyonya Shelly yang sedari tadi hanya duduk terdiam dan hanya memandang keluar jendela mobil, tiba-tiba perlahan menoleh kepadaku dan tersenyum lesu.       

“Aku benar-benar minta maaf atas apa yang baru saja kau dengar. Aku tahu, ini seharusnya menjadi liburan yang menyenangkan untukmu.” Kata nyonya Shelly dengan nada sesal.               
                                                  
Aku tersenyum kecil sambil menghela nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya dengan lega. 

“Aku baik-baik saja, nyonya Shelly. Lagi pula aku sudah mengeluarkan banyak biaya untuk perjalanan ini. Kau tahu, aku akan tinggal di sini sampai musim mendatang. Atau yang lebih bagus lagi, aku akan tinggal di villa sampai Natal nanti dan akan pulang sebelum malam tahun baru tiba, karena aku berjanji kepada orang tuaku untuk merayakan nalam pergantuan tahun bersama. Tak apa-apa, kan?”, jelasku kepada nyonya Shelly.
                                                
Terlihat senyuman kecil dan anggukkan dari wajah nyonya Shelly; sepertinya dia sedikit merasa lega.
       
Mendengar kata-kataku, tampaknya mata nyonya Shelly mulai kembali bersemangat. Wajahnya yang perlahan berbinar dan senyuman kecil yang tersirat di bibirnya setidaknya telah membuatku sedikit lega karena aku cukup merasa bersalah. 
                                                                            
“Tucker...,” nyonya Shelly terlihat kembali bersemangat.

“Ya, nyonya.” Jawab tuan Tucker.
                                                                    
“Apakah kau sudah menaruh selimut dan bantal ekstra di villa?” tanya nyonya Shelly kepada tuan Tucker dengan antusias.

“Sudah, nyonya, semuanya sudah kupersiapkan siang tadi. 2 selimut tambahan untuk menahan dingin di malam hari dan 1 bantal tambahan yang ekstra besar di kamar tidur utama. Saya juga sudah mengganti semua sprei lama dengan sprei yang baru; semuanya seperti yang kau perintahkan, nyonya.”, jawab tuan Tucker dengan detail. 
                                                                                  
Mendengar itu, aku merasa senang; tampak juga olehku wajah nyonya Shelly yang semakin berbinar dan penuh semangat. 
                                               
“Kau akan nyaman tinggal di villa, Lilian, aku jamin itu. Bagaimana pun juga, itu adalah villa kebanggaan keluarga kami.” Ucap nyonya Shelly dengan binar. Kepercayaan diriku semakin bertambah.
                                                               
Tak sabar aku untuk tiba ke villa itu, dan sejenak, kisah kelam Grand Shade yang tak berujung itu terlupakan olehku.
                                                            
Tak kusangka perjalanan ke villa itu memakan waktu hampir 25 menit. Mobil pun berjalan melambat dan akhirnya berhenti di suatu jalan yang buntu.
            
“Kita sudah sampai, Nyonya.” lapor tuan Tucker dari balik kemudi. 
       
Dengan bergegas, tuan Tucker meng-hand break mobilnya lalu turun dari kursi kemudinya dan menghampiri pintu mobil belakang dan membukakan pintu untuk nyonya Shelly. Dari dalam mobil, sambil melihat ke segala arah, perlahan aku membuka pintu mobil lalu aku pun turun dari mobil. Kuperhatikan sekelilingku, terlihat gelap pekat, bahkan cahaya bulan tak dapat menembus gelapnya awan di langit malam di Reven Det 36; mungkin sedang mendung. Samar terlihat rerumputan tinggi yang bergoyang-goyang karena dihembus angin. Suasana begitu gelap dan dingin, hanya lampu dari mobil tuan Tucker lah yang jadi satu-satunya penerangan. Tepat di bias cahaya lampu mobil, samar ku melihat sebuah gerbang besi yang tinggi - mungkin sekitar 12 kaki – yang ditumbuhi oleh tanaman menjalar di bagian atas dan samping kanan-kirinya. Aku sungguh penasaran dan ingin segera melihatnya sendiri. Terlihat dari sudut mata, tuan Tucker sedang sibuk menarik koperku dari dalam bagasi mobilnya; rupanya koperku agak sedikit tersangkut. Aku datang mendekat dan bermaksud untuk membantunya, tapi..., oh, ternyata koperku sudah berhasil dikeluarkannya. Aku berjanji akan membuang koper sialan itu setelah pulang dari liburan ini. Mengapa bisa ada koper yang begitu menyusahkan?  
                  
“Ayo, Lilian.”, ajak nyonya Shelly.
Baca selengkapnya

Tuesday, 11 October 2016

THE APART-MENT Chapter 2-1

THE APART-MENT Chapter 2-1

THE APART-MENT
Chapter II
Perjalanan Ke Grand Shade

            Erangan mesin mobil tuan Tucker mengiringi perjalanan kami ke Grand Shade. Cerita-cerita tentang Grand Shade yang penuh misteri masih berhembus liar di pikiranku. Selama perjalanan, tak ada sepatah kata pun yang diutarakan nyonya Shelly; begitu pula dengan diriku. Kami berdua hanya duduk terpaku di kursi belakang.


         “Eeem...nona Bricks, aku mendengar dari nyonya Banner bahwa anda berasal dari London.” Pertanyaan tuan Tucker memecah keheningan.                              

          “Oh, iya, ya, ya, itu benar.”, jawabku dengan terkejut.                              

        “Sebagai perkenalan kita yang pertama, saya ingin anda tahu bahwa saya juga berasal dari London.”, kata tuan Tucker sambil melongok ke arahku lewat kaca spion depan.                                                                                                                       

         Aku mulai tersenyum enggan                                                                     

       “Benarkah itu? Yaaah, sebenarnya London bukanlah tempat asalku. Aku pindah ke sana sekitar 7 tahun lalu. Hmmmh, orang tuaku sering berkeliling dunia dan tinggal di berbagai tempat di beberapa negara; mereka juga membawaku serta.”, jawabku kepada tuan Tucker.                                                                               

        Terlihat dari kursi belakang, tuan Tucker menganggukkan kepalanya beberapa kali seraya menyimak ceritaku.                                                                                   

      “Waaah, pasti itu terasa sangat repot; harus selalu bersiap dan berkemas.”, katanya dengan wajah sedikit bingung.                                               

       “Untungnya, tidak. Orang tuaku selalu memberikan banyak hal kepadaku; tak hanya materi tapi juga petualangan-petualangan yang mengasyikkan di setiap negara dan kota yang kami singgahi dan tinggali. Jadi aku tidak pernah merasa bahwa itu adalah sesuatu yang merepotkan. Bagaimana dengan mu tuan Tucker, apa ceritamu dengan London dan bagaimana kau bisa tiba di tempat ini?” aku merespon dengan cukup antusias.                                                                      

         Sesaat, tuan Tucker menghela nafas dan mengembuskannya panjang panjang dan mengerutkan dahinya tampaknya dia sedang mengingat-ingat sesuatu.       

       “Hmmm..., ceritanya cukup panjang dan kompleks. Tapi sekedar info untukmu, dulu aku lahir dan besar di sana, di daerah pinggiran. Tak terlalu banyak cerita yang bisa kuingat saat masa mudaku dulu. Aku hanya tinggal bersama ibuku – ibuku adalah orang tua tunggal – dan aku hanyalah seorang anak yang menikmati setiap fase kehidupan sama seperti anak-anak lain pada umumnya; bersekolah, berkuliah dan kemudian bekerja. Lalu saat ibuku meninggal, saat itu usiaku menginjak 24 tahun, aku pun memutuskan untuk pergi meninggalkan London. Hidup di jalanan dalam perantauan, membuatku merasa ngeri; aku melihat banyak anak-anak muda seusiaku yang mengkonsumsi narkoba dan bahkan mereka mengajakku untuk ikut mencicipi. Tapi aku memilih untuk tidak melakukannya dan ingin melakukan hal yang lebih baik, sampai aku bertemu dengan ayah pak James, tuan Richard Banner, yang waktu itu sedang bekerja di sebuah konstruksi bangunan – sepertinya dia adalah mandor di situ. Singkat cerita, tuan Richard membawaku ke kota ini. Begitulah kenapa aku bisa sampai ke kota ini”, kisah tuan Tucker.                                            

            Aku mengangguk-anggukkan kepalaku, tanda memahami.

Aku mengobrol dengan tuan Tucker sekitar 10 menit lamanya dan tampaknya perjalanan masih cukup lama karena medan jalan yang sulit membuat mobil tak dapat dipacu lebih cepat.      
                                           
“Tuan Tucker,,,” panggilku. 
                                                                                     
“Ya, nona,,,” sahut tuan Tucker sambil sedikit menoleh ke arahku.      
   
“Apakah jalan ini tak pernah diperbaiki? Jalan ini terasa tak nyaman dilewati.” tanyaku penasaran.          
                                                                                
“Hehehe...ya ya ya, aku sering mendengar keluhan itu dari beberapa pengunjung dari sekitar 20 tahun yang lalu. Aku sempat menyampaikan hal ini kepada tuan Richard Banner agar dia mau memperbaiki jalan ini. Awalnya beliau setuju, namun karena kondisi kesehatannya yang terus menurun, tuan Banner urung melakukan persetujuan perbaikan jalan ini. Sampai suatu hari ia sempat berkata kepadaku bahwa sebenarnya, jalan ini adalah salah satu bagian dari konsep dibangunnya villa itu; katanya jalan ini adalah bagian dari petualangan. Saat beliau menjelaskan semuanya, barulah aku memahaminya dan berhenti melaporkan keluhan-keluhan pengunjung mengenai jalan ini.” jelas tuan Tucker tegas.                                                                                                                           
“Oh, begitu rupanya...” jawabku perlahan sambil menganggukkan kepalaku. 

Dari dalam mobil, aku memandang ke arah luar, sepertinya udara di luar sangat dingin; aku bisa merasakannya dari jendela kaca mobil. Kutempelkan telapak tanganku ke jendela mobil di sebelahku dan saat aku menarik tanganku, itu meninggalkan jejak telapak tangan dari embun yang terbentuk karena reaksi antara suhu yang rendah di luar dan tanganku yang mengeluarkan suhu yang lebih tinggi. Sama seperti reaksi yang terjadi pada saat kita menghembuskan nafas di suatu tempat terbuka dengan suhu rendah. Mataku yang sedari tadi melihat ke arah luar mencoba menembus kegelapan; aku menyipitkan mataku, mencoba menemukan objek yang bisa kulihat. Tapi gelapnya langit malam ini cukup pekat, sehingga tak ada apa pun yang dapat kulihat. Aku mencoba melihat ke arah lain; aku melihat ke arah depan mobil dimana lampu mobil tepat meneranginya, namun lagi-lagi aku tak dapat melihat banyak objek, hanya jalan lurus berbatu dan tak rata yang di kanan-kiri nya terdapat rerumputan yang cukup tinggi. Kusandarkan lagi tubuhku dan menghela nafas panjang lalu kembali terdiam.   
Baca selengkapnya

Monday, 10 October 2016

Intermeso

Intermeso


THE APART-MENT
Intermeso

Salam untuk para pembaca setiaku. Selamat datang di dunia hayalku. Pertama-tama saya ucapkan banyak terima kasih untuk siapa pun di luar sana yang sudah  dengan setia membaca dan mengikuti cerita dari Trial Novel saya. Sedikit tentang kegemaran saya dalam menulis; sejak duduk di bangku SD, saya suka sekali pelajaran “mengarang cerita”. Sampai saat SMA pun, “mengarang” masih menjadi hobi saya. Saya mulai serius menekuni dunia menulis novel ini pada saat setelah lulus sekolah. Di saat-saat tertentu, kepala saya akan dipenuhi banyak cerita – entah dari mana datangnya. Sejujurnya, cerita di trial novel ini adalah buah pemikiran saya sejak bertahun-tahun yang lalu. Dulu saya selalu terbayang tentang suatu tempat, sebuah bangunan selayaknya sebuah rumah. Tapi saya hanya bisa sampai di sana dan rumah itu kosong, tak ada cerita yang mengisinya. Sampai saat saya berkuliah – di jurusan sastra – dan mempelajari “rasa” dari sastra itu sendiri, bersamaan dengan itu, pengetahuan saya akan kenyataan dan hayalan menjadi semakin terasah. Inilah awal saya membuat sebuah rangkaian cerita untuk mengisi setiap ruang yang kosong di “rumah” itu.
Di akhir masa perkuliahan saya, kembali saya merasa seperti diingatkan akan rumah kosong yang pernah hadir di dunia hayal saya bertahun-tahu yang lalu. Cerita dalam novel saya tersebut mengacu pada segala hal antara fakta dan *fiksi (*segala sesuatu yang pernah terjadi di dalam buah tidur saya) yang pernah terjadi di kehidupan saya. Banyak hal yang tidak bisa saya dapatkan, banyak juga hal yang saya impikan tapi tak jua pernah jadi nyata. Maka dari itu saya menuangkannya dalam bentuk tulisan, sebuah kisah yang ingin sekali itu pernah, sedang atau pun yang saya harap akan terjadi di masa depan. Ini membuat saya merasa seakan ikut terlibat dalam cerita yang saya tulis dan 60% isi cerita dan beberapa karakter dan sifat karakter yang keluar, merupakan proyeksi dari kepribadian saya.
Saya sama sekali tidak pernah mengikuti lomba mengarang, atau melakukan sesuatu dengan karangan-karangan saya. Karena pada awalnya saya berpikir bahwa karangan-karangan itu hanyalah sesuatu hayalan pribadi yang akan terasa janggal bila diketahui orang lain. Namun pemikiran saya berubah saat tak sedikit orang yang menilai dan berkata bahwa tulisan saya sangat baik, baik dari segi bahasa atau pun dari segi rasa – saya juga ingin mempercayai hal ini. Maka dari itu, saya memberanikan diri untuk mempublikasikan hasil tulisan saya ini kepada umum. Karena ini adalah sebuah novel percobaan, tentu saja saya sangat berharap untuk mendapatkan kritik serta saran yang membangun dari para pembaca sekalian. Apabila ada saran maupun kritik yang kiranya ingin disampaikan secara pribadi kepada saya, berikut adalah alamat e-mail saya c4llmecook1es@gmail.com

Demikian salam dari saya. Jangan lupa untuk selalu mengikuti kelanjutan kisahnya. Chapter 1 telah berakhir, tapi chapter 2 telah menunggu di antrian berikutnya karena dia merindukan dan ingin segera bertemu dengan pembaca-pembacanya. Sekali lagi terima kasih atas dukungan yang anda semua berikan. Selamat membaca! ^^    
Baca selengkapnya

Tuesday, 4 October 2016

THE APART-MENT  Chapter 1 END

THE APART-MENT Chapter 1 END

              “Nyonya Benner! Nyonya, apakah kau ada di dalam?!”                               

              Nyonya Shelly yang tampak kebingungan, segera berlari menuju ke arah pintu lalu membukanya; kami berdua – aku dan pak James – juga mengikuti nyonya Shelly dari belakang. Saat pintu dibuka, aku melihat seseorang berkulit hitam yang lumayan tinggi, dia memakai setelan jas berwarna merah maroon dan juga celana kain berwarna sama serta dasi berwarna hitam menggantung rapih di kerah baju hem putihnya.                                                                                    

        “Nyonya, maaf saya datang terlambat. Hmm..., saya baru saja pulang dari kebaktian di rumah teman.”, kata pria itu.                                                                  

               “Tak apa. Masuklah, Tucker”, sambut nyonya Shelly.                                      

              Oooh, jadi ini kah Tucker si tukang kebun yang baru saja diceritakan oleh pak James beberapa menit yang lalu. Menurutku, dia kelihatan agak seram. Gumamku perlahan.                                                                                                         

         “Aku memanggil dia kemari untuk mengantar Lilian ke Grand Shade”, kata nyonya Shelly kepada pak James. Pak James hanya terdiam dan nampak raut kebingungan yang semakin tersirat jelas di wajahnya. Sambil menongkakkan salah satu tangannya di pinggang dan tangan yang lain menggaruk-garuk kepala, Pak James berkata dengan nada tegas, katanya,   

           “Aku tak tahu harus bagaimana sekarang; kau telah melakukan semua ini tanpa memberitahuku yang sebenarnya dan sekarang Tucker sudah di sini, setidaknya kita harus memberi ia pekerjaan. Bukan begitu, Shelly? Kita akan bicarakan ini lagi, besok.”                                                                                

              Mendengar kata-kata itu, nyonya Shelly nampak bingung sekaligus takut, tapi nyonya Shelly tetap menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan dari suaminya tadi dengan raut lesu.                                                                          

         Pak James berjalan menghilang ke dalam rumah dan tak lama, ia kembali dengan membawakan koperku yang super berat itu dan memberikannya kepada tuan Tucker sambil berkata                                                                                  

              “Tucker, tolong antarkan tamu kami ke villa”, kata pak James.                  

          “Shelly, sayangku, kau pergilah bersama Lilian dan Tucker. Aku akan menyusul, aku akan bereskan rumah kita dulu. Sampai bertemu di villa. Maafkan aku sudah membentakmu tadi.”, pinta pak James kepada nyonya Shelly dan diakhirinya dengan sebuah kecupan manis di kening sang isteri.                 

           Tanpa banyak berkata-kata, nyonya Shelly lalu berjalan menuju pintu. Ku rangkul tubuh renta nyonya Shelly dan mengajaknya berjalan bersama. Sesampainya di luar, aku melihat tuan Tucker tengah sibuk menyalakan mesin mobilnya dan membukakan pintu mobil.                                                         

            “Silahkan naik”, katanya sambil memegangi pintu mobil. Sementara kami berdua mulai beranjak masuk ke dalam mobil, tuan Tucker mengangkat koperku yang berat itu ke dalam bagasi mobil. Koper itu nampak ringan di tangan tuan Tucker - tentu saja, tubuhnya tinggi dan besar. Setelah aku dan nyonya Shelly duduk dan menunggu di dalam mobil, Tn. Tucker pun tengah bersiap di depan kemudi, tak lama ia menoleh ke arahku, lalu dia menyapaku “selamat petang, nona, saya Tucker.”                                                                              
                “Ah, iya, salam kenal, saya Lilian Bricks.” Balasku.    

            “Oh, nona Bricks, rupanya anda yang ingin berlibur di Grand Shade Semoga liburan anda menyenangkan. Grand Shade sangat lihai mengambil hati pengunjung, nona, mungkin sebaiknya kau memperpanjang liburanmu di sini” Ucapnya sambil tersenyum sopan ke arahku, tapi aku hanya tersenyum masam “aku ragu akan hal itu” aku berbicara pelan.                                                                     

                Mobil mulai bergerak perlahan, dan perjalanan ke Grand Shade pun dimulai. 
Baca selengkapnya

Friday, 30 September 2016

THE APART-MENT  Chapter 1-7

THE APART-MENT Chapter 1-7

Mendengar kabar itu, seluruh penduduk di kota ini menjadi penasaran dan sebagian dari mereka mulai berdatangan untuk melihat langsung tempat kejadian dan sebagian yang lain mulai menggunjingkan villa kami. Dua hari setelah kejadian itu, aku mencoba melihat dan memeriksa keadaan di Grand Shade. Aku mencurigai, mungkinkah si pengunjung itu tengah melakukan ritual aneh yang membuatnya kerasukan, ataukah dia sedang menghadapi masa-masa sulit atau ada kemungkinan-kemungkinan yang lain. Aku ditemani oleh wali kota, beberapa anggota kepolisian dari distrik terdekat dan beberapa warga untuk menginvestigasi villa itu. Tapi kami tak menemukan barang apa pun yang mencurigakan. Aku mendapat pengakuan dari penjaga villa kami waktu itu, Tn. Tucker. Beliau bertugas untuk membersihkan halaman dan kolam di villa tiga kali dalam satu minggu. semenjak tamu tersebut menginap seorang diri di situ, beberapa kali Tn. Tucker melihat dan mendengar wanita itu berbicara sendiri, bahkan wanita itu menangis dan tertawa sendiri tanpa sebab.” 

Jelas pak James dengan serius. Aku sangat kebingungan dan hanya terdiam, karena aku tak banyak tahu tentang kota ini. Aku bahkan kesulitan menemukan kota ini di peta. Ini seperti berlibur di gua yang gelap. Tiba-tiba aku merasa bahwa ini sangat menakutkan. 

“Lalu apa akhirnya kau menemukan penjelasan yang tepat atas kejadian itu?” tanyaku kepada pak James.   
                   
Pak James terduduk lemas, tersirat rasa bingung di wajah tuanya.    
         
“Wanita itu sangat muda, bahkan mungkin jauh lebih muda darimu. Berapa usiamu, Lilian?” tanya pak James kepadaku.   
                                                       
“29” jawabku singkat.   

“Wanita itu baru berusia 21 tahun dan baru saja lulus kuliah. Pagi hari di hari itu, sekitar pukul 9, wanita itu datang ke rumah ini. Isteriku yang menyambutnya dan mempersilahkan wanita itu duduk di teras depan. Kebetulan waktu itu aku sedang pergi keluar, dan saat aku kembali, aku melihat isteriku dan wanita itu sedang asyik mengobrol. Melihatku datang, isteriku langsung dengan bersemangat memper-kenalkanku kepada wanita muda itu. Aku tak ingat betul siapa namanya. Wanita itu begitu murah senyum, wajahnya berseri-seri saat menceritakan hal tentang dirinya” kenang pak James. 

Meski tampak terpaksa, Pak James pun melanjutkan ceritanya.

“Tak ku sangka setelah beberapa hari berlalu setelah pertemuan kami saat itu, tiba-tiba aku mendengar kabar kematiannya di Grand Shade. Namun, belakangan setelahnya, aku mengetahui dari pihak rumah sakit yang mengaotopsi dan mengurusi mayatnya, bahwa wanita muda itu memiliki riwayat penyakit psikis yang cukup serius. Wanita itu sepertinya memiliki obsesi yang berlebihan terhadap sesuatu. Hasil aotopsi mengatakan bahwa telah ditemukan banyak luka lebam di bagian wajahnya dan luka gores di sekujur tangan dan di kulit kepalanya. Sehari setelah kematiannya, seorang petugas polisi mendatangiku untuk memperlihatkan barang-barang milik wanita itu. Ada sebuah tas berisi beberapa potong pakaian – sepertinya wanita itu tak banyak membawa baju untuk berganti, ada juga beberapa lembar peta, selembar tiket kereta, lalu ada sebuah buku note; di halaman paling depan aku menemukan sebuah foto seorang pria muda – mungkin itu foto kekasihnya, di halaman berikutnya tertulis sebuah nama, namun aku tak ingat, aku hanya mengingat ada inisial yang tertulis di belakang nama itu ‘K.C’. Nah, itu dia namanya, sekarang aku ingat, nama wanita itu Cassy!” seru pak James tiba-tiba. Aku masih terpaku menyimak cerita dari pak James saat ku perhatikan nyonya Shelly mulai terlihat gelisah dan sesekali ia menghusap lengannya, lalu meremas-remas tangannya, gelagatnya terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. Sesekali nyonya Shelly menarik dan menghela nafas pendek seperti tengah bersiap ingin mengatakan sesuatu tapi pak James masih saja terus bercerita menggebu. Namun...,   

“Namanya Kenny. Kenny Clark.” Suara nyonya Shelly sontak membuat pak James terdiam sekaligus terheran.                                                                         

“Aku tahu, karena...” belum sempat menceritakan bagiannya, tiba-tiba saja ketukkan di pintu membuyarkan semuanya. 
Baca selengkapnya

Friday, 23 September 2016

THE APART-MENT  chapter 1-6

THE APART-MENT chapter 1-6

Pak James memelototkan matanya ke arahku, matanya memandang jauh ke dalam mataku dan bertanya dengan nada serius padaku   
                    
“Dari mana kau tahu tentang rumah itu, anakku? dan kenapa kau ingin menginap di rumah itu?”            
                                                                                    
Aku merasa bingung dan terdiam sesaat melihat reaksi yang diberikan pak James kala itu.    
                                                                                                               
 “Aku tak tahu, pak James. Aku hanya ingin menghabiskan waktu musim dingin dengan berlibur dan salah seorang temanku merekomendasikan tempat itu. Ku kira kau sudah tahu.”, jawabku dengan bingung.             
                                          
“Salah satu temanku memberiku nomor kontak ini, atas nama keluarga Banner”, sambungku sambil mengeluarkan dan menunjukkan kertas kecil yang kuselipkan di dompetku. Di situ tertulis [ Banner, Grand Shade – 009 555 7098 ]. “Apa kau yang mengijinkannya kemari, sayang?” tanya pak James kepada nyonya Shelly. Dengan gugup, nyonya Shelly mendekati pak James       
          
“Ayolah, James, ini sudah 7 tahun sejak kejadian itu. Kejadian itu sudah sangat lama terjadi dan semuanya sudah berakhir.”, ungkap nyonya Shelly kepada pak James sambil menghusap-husap punggung pak James untuk menenangkannya. “tidak ada yang berakhir, Shelly!”, jawab pak James dengan suara keras dan sedikit membentak.

  Aku semakin merasa bingung dan syok.   
                                                            
“Ada apa ini sebenarnya? Aku menelepon dan aku merasa telah diterima saat berbicara di telpon dan aku dipersilahkan dan diijinkan untuk mengunjungi dan bermalam di Grand Shade, atau apa lah nama nya itu. Sekarang aku sudah di sini dan hal ini baru kudengar sekarang. Cerita apa yang dimaksud?!” tiba-tiba emosiku tersulut. Aku melihat nyonya dan tuan Banner terdiam sesaat. Mungkin mereka kaget dengan nada bicaraku yang mulai tinggi.     
   
 “Hmmmmh, ma-ma-maafkan aku, aku tak bermaksud untuk marah.”,   
     
Hening sejenak ...       
                                                                            
“Sebenarnya, dulu Grand Shade adalah salah satu villa di kota ini.”, ucap pak James tiba-tiba. 

“Grand Shade adalah milik keluargaku; lebih tepatnya, milik ayahku. Ayahku mempercayakan Grand Shade padaku untuk aku kelola, karena waktu itu ayahku sudah mulai tua dan sakit-sakitan.”, lanjutnya. 

“Dulu Grand Shade merupakan villa favorit pengunjung. Sejak dibuka 37 tahun yang lalu, sudah ada lebih dari 2.300 orang yang terdiri dari keluarga, dan sekelompok orang yang ingin menghabiskan waktunya untuk menginap di Grand Shade. Mereka semua datang dari tempat dan kota yang jauh. Meskipun  jalan menuju Grand Shade cukup jauh dan sulit, orang-orang itu tetap rela melakukan perjalanan itu. Mulai dari menggunakan mobil, kuda sampai dengan berjalan kaki. Semua orang yang menginap mengaku senang bisa menyempatkan bermalam di villa kami. Villa kami menjadi semakin terkenal sampai ke luar Reven Det 36. Tapi semua itu tak berlangsung lama; suatu hari..., ya...hari itu, hari dimana seorang pengunjung yang tinggal di sana lebih dari satu minggu, menjadi gila, lalu di suatu malam seorang penduduk melihat pengunjung Grand Shade itu tiba-tiba berlari dari dalam rumah sambil berteriak-teriak dengan brutalnya kemudian menjatuhkan diri dari jembatan yang berada tak jauh dari situ. Jauh di bawah jembatan itu, mungkin sekitar 200 meter, terdapat sebuah sungai dangkal dengan batuan-batuan besar. 
Baca selengkapnya