THE APART-MENT Chapter 2-3
Aku pun berjalan di sebelah
nyonya Shelly, sedangkan tuan Tucker berjalan tepat di belakang kami sambil
menarik koperku. Sampai di depan gerbang besar itu, kembali nyonya Shelly
mengeluar-kan rentengan kunci dari dalam saku bajunya. Dalam hati aku berkata,
mungkin ini akan memakan waktu yang cukup lama lagi. Namun ternyata tidak; tak
lama terdengar suara “klik”, dan ternyata gembok pagar itu sudah berhasil
dibuka. Hmmm, lebih cepat dari dugaanku. Setelah gerbang dibuka, tuan Tucker yang
pertama melangkah masuk lalu dia berbelok ke kanan dan menaikkan sebuah tuas
besar yang sepertinya berada di balik pagar. Sesaat setelah tuas dinaikkan, ada
bunyi “ziuuuut!” – seperti bunyi aliran listrik, tak lama semua penerangan out door di tempat itu pun menyala. Aku
sungguh dibuat tercengang. Mataku terbelalak, mulutku terbuka lebar sejadinya;
seperti raksasa yang akan menyantap potongan paha domba ekstra besar yang di
panggang. Begitu banyak daya penerangan yang dipakai untuk menerangi halaman luar
atau taman villa itu, sampai-sampai terasa seperti siang hari. Di antara bias
cahaya lampu-lampu taman, aku melihat satu bangunan yang berdiri dengan
megahnya; itulah villa Grand Shade yang begitu terkenal, bangunan villa itu
begitu gaya dengan tulisan mesir kuno yang terukir apik pada pintu batu yang
menjadi pintu utama villa.
“Jangan terkejut dulu, nona Bricks, anda belum melihat semuanya”, ucap tuan Tucker padaku yang sedang terkagum-kagum dengan keeksotisan tempat ini. Kami berjalan menyusuri halaman depan villa yang dilengkapi dengan kolam ikan yang cukup luas dengan hiasan patung kuda hitam yang tengah berdiri dengan gagahnya dengan kedua kaki belakang dan dua kaki depannya seperti gaya orang yang sedang meninju.
“Patung kuda itu didapat dari hasil pelelangan besar-besaran 50 tahun lalu. Tuan Richard Banner benar-benar orang yang sangat hebat. Dia memenangkan patung itu hanya dengan satu kali ajuan harga “$40.000”, katanya waktu itu; begitu palu habis diketukkan 3 kali, patung ini sah menjadi milik tuan Banner.”, begitu kata tuan Tucker sambil memandangi patung kuda itu.
Aku terdiam sesaat sambil memandangi patung itu dari atas hingga ke bawah dengan mata semakin terbelalak. Patung itu sungguh keren, tapi aku penasaran mengapa ayah pak James sangat menginginkan patung kuda yang sangat mahal itu dan hatiku tergelitik untuk bertanya lebih lanjut kepada tuan Tucker. “Wow, itu sangatlah mengesankan, Tuan Tucker. Tapi kenapa seseorang rela mengeluarkan banyak dana hanya untuk sebuah patung?” tanyaku.
“Itu karena ayahku” jawab nyonya Shelly.
“Ayahku mengenal betul siapa ayah mertuaku itu; mereka berdua adalah rekan kerja saat tugas akhir kuliah. Aku dan ayahku menghadiri pelelangan itu dan itu adalah kali pertamaku bertemu dengan ayah mertuaku, Richard Banner, yang waktu itu ditemani oleh anak laki-lakinya yang sekarang sudah menjadi suamiku. Saat itu ayahku berkata kepada ayah mertuaku bahwa patung itu dibuat dari 4 jenis elemen, yaitu: besi sebagai rangkanya, kayu pohon pinus dipakai sebagai bahan utama pada kepala sampai leher kuda, bongkahan batu raksasa yang diukir membentuk bagian tubuh sampai pada ekor kuda, sedangkan yang terakhir adalah tembaga untuk bagian kakinya. Dan semua bagian tubuh patung kuda itu dicat hitam agar orang-orang tak mengetahui detailnya. Mendengar hal itu pun, aku merasa penasaran dan juga ingin tahu mengapa patung itu harus dibuat dari 4 bahan yang berbeda-beda; tapi ku biarkan misteri itu menjadi seni tersendiri yang membuat patung itu kelihatan gagah sekaligus misterius.
Langkah kami berlanjut menyusuri jalan lurus dengan pohon-pohon rendah di kanan-kirinya seperti boulevard. Langkah kakiku semakin kikuk saat mulai mendekati bangunan villa. Diletakkannya koperku dan tangan besarnya mulai menggeser pintu batu berukir yang kokoh itu ke sisi kanan dan kiri; wow, tuan Tucker memang orang yang kuat – yaaah, meskipun dia sudah sedikit agak tua – yak ayal dia sangat cocok dengan pekerjaan seperti ini. Batinku.
“Ayo masuk lah.” kata nyonya Shelly.
Mereka mengijinkanku melakukan langkah pertama memasukki pintu itu; saat aku berhasil mendaratkan kakiku dengan ragu ke dalam, sekilas kudengar suara klik dibawah kakiku dan dalam hitungan detik lampu-lampu dan api di perapian mulai menyala. Rupanya, bunyi itu adalah bunyi sebuah saklar yang tertanam di bawah lantai kayu tepat di depan pintu masuk. Itu tidak biasa menurutku. Saat lampu mulai menyala, aku melihat betapa suasana di dalam villa ini benar-benar seperti yang digambarkan oleh orang-orang. Semua sudut terlihat begitu istimewa dan aku tak percaya aku telah menginjakkan kaki di tempat yang katanya telah banyak mencuri hati para pengunjung bertahun-tahun lalu. Aku tak sabar ingin segera menjelajahi seluruh ruangan ini karena ini akan menjadi tempat tinggalku sampai satu bulan kedepan. Atau lebih.
Tempat ini indah dan elok, namun aku masih tak bisa melupakan cerita misteri yang seram dibaliknya. Aku sempat bertanya kepada diriku sendiri apakah aku akan tetap melanjutkan liburan di tempat ini atau tidak. “Bagaimana, Lilian?” suara nyonya Shelly menyadarkanku dari lamunan. “Ini...benar-benar...wow! A-aaku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Ini luar biasa!” aku menjawab dengan terbata karena aku begitu terpana, sampai-sampai aku tak tahu harus berkata apa lagi.
“Nah, nona Bricks, sekarang anda bisa bebas tercengang. Saya tahu anda sudah tidak bisa menahannya, iya kan,,, hahahaha...” gurauan Tn. Tucker membuatku tersipu enggan.
“Haruskah kami meninggalkan anda sendiri supaya anda bisa langsung menjelajahi tempat ini ruangan tiap ruangan?” lanjut Tn. Tucker sambil tersenyum lebar.
“Lilian...,” suara nyonya Shelly membuyarkan sipuku.
“Ya, Nyonya” sahutku lekas.
“Ambil ini dan jangan lupa seringlah menghubungi aku, suamiku atau Tn. Tucker, bila kau butuh bantuan. Sekali pun tempat ini indah, jangan selalu terpaku dan hanya ingin menghabiskan waktu di dalam saja. Aku tidak ingin kejadian yang lalu terjadi juga padamu. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku tak ingin itu terjadi lagi. Semua orang juga berharap begitu.” Pesan nyonya Shelly sambil memberikan sebuah kunci dan dua nomor telepon atas nama Banner dan Tucker.
“Hmmm, nyonya, aku punya beberapa pertanyaan tentang,,, hmmm, bagaimana aku bisa mendapatkan menu makanku tiga kali sehari? Dan seandainya nanti...”
“Tenang saja, Lilian. Di rak buku di dalam ada buku pentunjuk yang bisa memandu dan membeitahumu segala sesuatu tentang tempat ini, termasuk soal menu yang kau tanyakan. Tapi maaf jika buku-buku itu sudah sedikit terlihat usang; yang penting masih bisa dibaca dan bersih. Semuanya sudah lengkap tertera di sana.” sahut Tn. Tucker.
“Baiklah Lilian, kami harus pergi. Rupanya suamiku tak jadi menyusul kita kemari. Mungkin dia masih merasa kecewa padaku. Segeralah beristirahat, besok pagi aku dan suamiku akan datang untuk membawakan sarapan. Hitung-hitung, itu sebagai permintaan maaf kami atas ketidaknyamanan yang terjadi di awal.” sambutan dan kata-kata ramah nyonya Shelly menjadi awal liburanku yang sesungguhnya.
Lalu mereka pun pergi dan tinggallah aku sendiri di bangunan asing yang luas itu.
“Jangan terkejut dulu, nona Bricks, anda belum melihat semuanya”, ucap tuan Tucker padaku yang sedang terkagum-kagum dengan keeksotisan tempat ini. Kami berjalan menyusuri halaman depan villa yang dilengkapi dengan kolam ikan yang cukup luas dengan hiasan patung kuda hitam yang tengah berdiri dengan gagahnya dengan kedua kaki belakang dan dua kaki depannya seperti gaya orang yang sedang meninju.
“Patung kuda itu didapat dari hasil pelelangan besar-besaran 50 tahun lalu. Tuan Richard Banner benar-benar orang yang sangat hebat. Dia memenangkan patung itu hanya dengan satu kali ajuan harga “$40.000”, katanya waktu itu; begitu palu habis diketukkan 3 kali, patung ini sah menjadi milik tuan Banner.”, begitu kata tuan Tucker sambil memandangi patung kuda itu.
Aku terdiam sesaat sambil memandangi patung itu dari atas hingga ke bawah dengan mata semakin terbelalak. Patung itu sungguh keren, tapi aku penasaran mengapa ayah pak James sangat menginginkan patung kuda yang sangat mahal itu dan hatiku tergelitik untuk bertanya lebih lanjut kepada tuan Tucker. “Wow, itu sangatlah mengesankan, Tuan Tucker. Tapi kenapa seseorang rela mengeluarkan banyak dana hanya untuk sebuah patung?” tanyaku.
“Itu karena ayahku” jawab nyonya Shelly.
“Ayahku mengenal betul siapa ayah mertuaku itu; mereka berdua adalah rekan kerja saat tugas akhir kuliah. Aku dan ayahku menghadiri pelelangan itu dan itu adalah kali pertamaku bertemu dengan ayah mertuaku, Richard Banner, yang waktu itu ditemani oleh anak laki-lakinya yang sekarang sudah menjadi suamiku. Saat itu ayahku berkata kepada ayah mertuaku bahwa patung itu dibuat dari 4 jenis elemen, yaitu: besi sebagai rangkanya, kayu pohon pinus dipakai sebagai bahan utama pada kepala sampai leher kuda, bongkahan batu raksasa yang diukir membentuk bagian tubuh sampai pada ekor kuda, sedangkan yang terakhir adalah tembaga untuk bagian kakinya. Dan semua bagian tubuh patung kuda itu dicat hitam agar orang-orang tak mengetahui detailnya. Mendengar hal itu pun, aku merasa penasaran dan juga ingin tahu mengapa patung itu harus dibuat dari 4 bahan yang berbeda-beda; tapi ku biarkan misteri itu menjadi seni tersendiri yang membuat patung itu kelihatan gagah sekaligus misterius.
Langkah kami berlanjut menyusuri jalan lurus dengan pohon-pohon rendah di kanan-kirinya seperti boulevard. Langkah kakiku semakin kikuk saat mulai mendekati bangunan villa. Diletakkannya koperku dan tangan besarnya mulai menggeser pintu batu berukir yang kokoh itu ke sisi kanan dan kiri; wow, tuan Tucker memang orang yang kuat – yaaah, meskipun dia sudah sedikit agak tua – yak ayal dia sangat cocok dengan pekerjaan seperti ini. Batinku.
“Ayo masuk lah.” kata nyonya Shelly.
Mereka mengijinkanku melakukan langkah pertama memasukki pintu itu; saat aku berhasil mendaratkan kakiku dengan ragu ke dalam, sekilas kudengar suara klik dibawah kakiku dan dalam hitungan detik lampu-lampu dan api di perapian mulai menyala. Rupanya, bunyi itu adalah bunyi sebuah saklar yang tertanam di bawah lantai kayu tepat di depan pintu masuk. Itu tidak biasa menurutku. Saat lampu mulai menyala, aku melihat betapa suasana di dalam villa ini benar-benar seperti yang digambarkan oleh orang-orang. Semua sudut terlihat begitu istimewa dan aku tak percaya aku telah menginjakkan kaki di tempat yang katanya telah banyak mencuri hati para pengunjung bertahun-tahun lalu. Aku tak sabar ingin segera menjelajahi seluruh ruangan ini karena ini akan menjadi tempat tinggalku sampai satu bulan kedepan. Atau lebih.
Tempat ini indah dan elok, namun aku masih tak bisa melupakan cerita misteri yang seram dibaliknya. Aku sempat bertanya kepada diriku sendiri apakah aku akan tetap melanjutkan liburan di tempat ini atau tidak. “Bagaimana, Lilian?” suara nyonya Shelly menyadarkanku dari lamunan. “Ini...benar-benar...wow! A-aaku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Ini luar biasa!” aku menjawab dengan terbata karena aku begitu terpana, sampai-sampai aku tak tahu harus berkata apa lagi.
“Nah, nona Bricks, sekarang anda bisa bebas tercengang. Saya tahu anda sudah tidak bisa menahannya, iya kan,,, hahahaha...” gurauan Tn. Tucker membuatku tersipu enggan.
“Haruskah kami meninggalkan anda sendiri supaya anda bisa langsung menjelajahi tempat ini ruangan tiap ruangan?” lanjut Tn. Tucker sambil tersenyum lebar.
“Lilian...,” suara nyonya Shelly membuyarkan sipuku.
“Ya, Nyonya” sahutku lekas.
“Ambil ini dan jangan lupa seringlah menghubungi aku, suamiku atau Tn. Tucker, bila kau butuh bantuan. Sekali pun tempat ini indah, jangan selalu terpaku dan hanya ingin menghabiskan waktu di dalam saja. Aku tidak ingin kejadian yang lalu terjadi juga padamu. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku tak ingin itu terjadi lagi. Semua orang juga berharap begitu.” Pesan nyonya Shelly sambil memberikan sebuah kunci dan dua nomor telepon atas nama Banner dan Tucker.
“Hmmm, nyonya, aku punya beberapa pertanyaan tentang,,, hmmm, bagaimana aku bisa mendapatkan menu makanku tiga kali sehari? Dan seandainya nanti...”
“Tenang saja, Lilian. Di rak buku di dalam ada buku pentunjuk yang bisa memandu dan membeitahumu segala sesuatu tentang tempat ini, termasuk soal menu yang kau tanyakan. Tapi maaf jika buku-buku itu sudah sedikit terlihat usang; yang penting masih bisa dibaca dan bersih. Semuanya sudah lengkap tertera di sana.” sahut Tn. Tucker.
“Baiklah Lilian, kami harus pergi. Rupanya suamiku tak jadi menyusul kita kemari. Mungkin dia masih merasa kecewa padaku. Segeralah beristirahat, besok pagi aku dan suamiku akan datang untuk membawakan sarapan. Hitung-hitung, itu sebagai permintaan maaf kami atas ketidaknyamanan yang terjadi di awal.” sambutan dan kata-kata ramah nyonya Shelly menjadi awal liburanku yang sesungguhnya.
Lalu mereka pun pergi dan tinggallah aku sendiri di bangunan asing yang luas itu.