THE APART-MENT
Chapter I
Reven Det 36
19 November 1974, akhirnya sampai juga aku di sini, Reven Det 36. Tempat ini sungguh indah dan penuh dengan keunikan; sebuah kota yang terlihat seperti pedesaan tapi pedesaan yang bergaya modern. Rumah-rumah di sini tertata rapih saling berbaris berdempetan mengikuti lekukan lembah yang landai. Lingkungan di sekitar, bisa dibilang cukup sepih. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang, bahkan aku jarang melihat orang yang melintas. Setiap rumah yang aku lalui berukuran cukup besar untuk dihuni satu keluarga. Berada di tengah-tengah halaman yang cukup luas, rumah itu terdiri dari dua bangunan; ada bangunan utama dan ada bangunan lagi di sebelah atau di belakangnya – aku rasa itu adalah sebuah gudang penyimpanan atau sebuah garasi. Biarpun suasana di sini terasa agak aneh, tapi aku cukup dibuat tercengang dengan suasana di kota kecil ini. Dari dalam taxi yang ku tumpangi, aku mencermati betapa tempat ini begitu sunyi, tenang dan yang terpenting adalah, tempat ini begitu bersih. Aku bahkan tak melihat kotoran hewan di sepanjang jalan, atau sampah, bahkan udaranya sangat wangi; seperti bercampur aroma pepohonan dan sisa embun – ini seperti tempat yang selalu aku idam-idamkan untuk aku tinggali. Setidaknya akan lebih baik bila aku sudah memiliki keluarga sendiri. Anak-anakku pasti sangat senang berada di tempat ini. Aku rasa liburan kali ini aku sudah berada di tempat yang tepat.
Pukul satu siang, dan suasana masih begitu sejuk. Aku tak merasakan pancaran sinar matahari yang menusuk kulit. “luar biasa”, ungkapku perlahan sambil tersenyum lebar. “Huuuuft...” aku menghela nafasku lalu kusandarkan lagi tubuhku untuk kembali menikmati perjalanan. Tak lama, taksi yang kutumpangi berhenti di depan deretan tirai dedaunan dari tanaman merambat yang cukup panjang. Aku membuka jendela taksi, mencoba melihat apa yang sebenarnya terjadi, dan...
“nona, kita sudah sampai” ucap supir taksi.
Aku melongok ke semua arah dari jendela taksi dan sepertinya aku masih ada di tengah jalan. Jalan itu berada di tengah-tengah hutan, hampir seluruh tempat tertutupi ranting-ranting pohon, daun-daun kering dan tanaman merambat yang tumbuh menjalin di antara dahan pohon.
“Dimana aku?” tanyaku.
“Maaf, saya hanya bisa mengantar anda sampai di sini, selanjutnya anda tinggal berjalan menyusuri jalan setapak itu – sambil menunjuk ke arah sebuah pintu gerbang kecil. Tempat tujuan anda tak jauh dari sini”.
Supir taksi itu begitu sopan, dengan senyum yang tersampir di wajah tuanya, ia membukakan pintu mobil dan mempersilahkan aku turun. Sopir taksi tua itu mulai mengeluarkan barang bawaanku dari bagasinya. Lalu aku mengambil kantung uangku dan memberi beberapa dolar padanya.
“Terimakasih. Semoga hari anda menyenangkan, nona”, katanya.
Supir taksi tua itu masuk ke dalam taksinya lalu ia pun pergi
Pletak-pletok... suara roda dari koperku mulai terdengar saat aku menariknya; “ah, dasar koper sialan...” gumamku sambil mencoba menarik koper itu agar mau bergerak. Koperku itu adalah sebuah koper tua besar, terbuat dari kulit imitasi. Warnanya... sayangnya aku sudah tak megenali warna koper yang ku bawa – aku rasa itu warna coklat pastel yang sudah menjadi kelabu. Koper itu pemberian kakek buyutku untuk nenekku saat nenekku akan pergi belajar ke luar kota. Kemudian koper itu diberikan nenekku untuk ibuku, dan sekarang koper ini menjadi milikku. Yaaaah, seperti barang warisan yang katanya harus terus-menerus diwariskan. Koper itu begitu berat; aku yakin baju bawaanku jauh lebih ringan dan sialnya lagi, roda kopernya sudah tak berfungsi dengan baik. Mungkin setelah pulang dari liburan ini, aku akan langsung memajangnya di loteng rumahku. Aku yakin anak-anakku kelak tak akan mau memilikinya karena koper ini sudah terlalu tua dan terlihat tidak modis.
Aku berdiri sesaat sambil terpaku di depan pagar kecil itu. Aku masih bisa melihat dari sudut mataku, taksiku mulai berjalan menjauh; bahkan suara mesin tuanya masih terdengar nyaring di telingaku dan asap hitam yang menyeruak dari knalpotnya, sejenak membuat pemandangan sekitar menjadi kelabu. Aku menghela nafasku lalu kubuka pagar kecil itu. Suara gesekan logam yang nyaring menandakan kalau engsel pagar itu sudah lama tak dilumasi. Aku berjalan langkah demi langkah menyusuri jalan setapak yang dimaksud sopir taksi tadi. Bau dedaunan yang menyatu dengan bau dari lembabnya tanah membuat hatiku terasa nyaman, dan pohon-pohon yang menjulang tinggi membuat mataku benar-benar dimanjakan dan senyumanku seakan tak ingin meninggalkan wajahku. Saat sedang menikmati suasana, terlihat dari kejauhan, sebuah rumah bergaya abad ke-16 bercat biru, dengan kursi ayun di depan terasnya dan sebuah papan nama yang terpancang di halaman depan yang bertuliskan “SELAMAT DATANG DI RUMAH SHELLY”. Hmmm...aku yakin dengan alamat yang kutuju. Seharusnya aku menuju ke Grand Shade. Apa sopir taksi tua tadi telah membodohiku? Kalau benar, aku akan sangat kesal.
Tak lama, aku melihat seseorang keluar dari rumah itu lalu melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar datang mendekat ke arahku,
“halo, selamat datang! ... Perkenalkan, aku Shelly Banner. Kita berbicara di telepon beberapa hari lalu kan? Kau pasti... hmmm..., maafkan aku, aku tak terlalu bagus dalam mengingat nama seseorang”, sambut seorang wanita tua. “Lilian Bricks. Panggil saja aku Lilian”, aku membalas ucapannya sambil tersenyum dan meraih tangannya untuk bersalaman.
“mari ikuti aku, Lilian.” Nyonya Shelly mengajakku berjalan menuju rumahnya. “Bagaimana perjalan anda?” tanyanya.
Sebuah pertanyaan yang cukup clishe; tentu saja aku amat lelah, setelah ribuan kilometer perjalanan laut dan ratusan kilometer perjalanan darat. Apa boleh buat, meskipun aku amat lelah dan sedang tak ingin banyak bicara, aku menghela dan menghembuskan nafas panjang lalu aku pun menjawab pertanyaannya,
“luar biasa, aku amat menikmatinya. Bahkan setelah tiba di kota ini, aku merasa perjalananku menjadi jauh lebih menyenangkan.” dan wanita tua itu dengan wajah bebinar membalas, “haaaah, syukurlah. Tapi aku tahu kau sangat lelah. Mari ikuti aku” katanya. Aku berjalan tepat di belakang nyonya Shelly.
Bagikan
THE APART-MENT Chapter 1-1
4/
5
Oleh
Chika