Monday, 22 August 2016

THE APART-MENT  Chapter 1-3

THE APART-MENT Chapter 1-3

         Hmmm, wow, bagian dalam dari rumah ini sungguh tampak berbeda dengan tampilan luarnya yang hanya bercat biru yang membosankan. Saat aku masuk ke dalam rumah nyonya Shelly, aroma seperti kayu manis samar-samar tercium olehku. Saat lampu mulai dinyalakan, sekarang aku dapat dengan jelas melihat seiisi rumah itu. Tepat di depan pintu, sekitar 2 meter dari pintu, ada tangga naik yang melintang. Tangga itu berbentuk spiral lebar, terbuat dari kayu yang kokoh, begitu juga dengan anak tangganya. Tangga kayu itu meliuk menjuntai ke lantai atas. Rumah ini begitu unik, dari luar aku tak bisa mengetahui bahwa rumah itu bertingkat. Di lantai bawah dilengkapi dengan tempat perapian tepat di sudut ruangan bila aku melihat ke arah jam sepuluh. Di lantai atas, aku hanya melihat rak-rak buku yang didesign tertanam sedikit menjorok ke dalam tembok. Rak buku itu tertata apik, melingkari hampir setengah bagian ruangan di lantai atas. Buku-buku berbagai macam ukuran ada di situ. Aku rasa nyonya Shelly adalah orang yang gemar membaca. Ada juga sudut membaca yang sudah dilengkapi dengan sebuah kursi dan terdapat sebuah lampu berdiri dengan cahaya lampu berwarna kekuningan berada tepat di sebelah kiri kursi baca itu.    
                                                                            
        “Waaaah, rumah anda begitu elok dan terlihat nyaman ditinggali” pujiku sambil menghusap gagang induk tangga.    
                                                          
        “Begitukah menurutmu? Hmmmh, ayahku adalah seorang arsitek spesialis rumah kayu. Ayahku lah yang mendisain denahnya dan memilih semua bahan yang akan digunakan, termasuk kayu-kayunya. Ayahku sangat pandai memilihkan sesuatu dan mencocokannya dengan fungsinya agar menjadi sesuatu yang indah, meski terlihat sederhana namun tetap berkualitas dan juga tahan lama. Orang berfikir bahwa memilih kayu sebagai interior utama itu mudah. Tapi nyatanya tidak sama sekali”. Aku mulai menyimak ceritanya.     
        
        “Seluruh lantai dan dinding di rumah ini terbuat dari kayu-kayu pilihan yang diambil dari pepohonan dekat area pertambangan logam. Kata ayahku, kayu yang tumbuh di area itu, sangatlah kuat, bahkan saat akan menebang, para pekerja sampai harus membuat gergaji khusus dari chrome  - logam paling kuat dari antara semua jenis logam. butuh waktu lama untuk menebang pohon dengan diameter kurang-lebih 2 meter. Maka dari itu, rumah ini dan segala isinya sangatlah kokoh, termasuk tangga ini. Meskipun terlihat rapuh, anak tangga ini bisa memuat beban hampir sebanyak sepuluh orang dewasa. Memang tak semua terbuat dari kayu, tapi sebagian besar. Rumahku ini sangat nyaman ditinggali. Kau masih akan merasa sejuk ketika musim panas di luar sana membuat tanah menjadi sangat panas; saking panasnya, sampai-sampai hampir membakar telapak kakimu bila kau mencoba berjalan tanpa alas kaki. Begitu pula saat musim salju yang dinginnya terasa menusuk menembus kulit dan tulangmu, tetapi rumah ini masih akan menjagamu agar selalu hangat bahkan saat kau tak memakai baju hangat atau selembar selimut pun. Saat aku masih remaja, mungkin usiaku waktu itu 14 tahun dan ibuku baru saja meninggal dunia karena sakit, aku pernah bertanya kepada ayahku, kenapa dia banyak memakai kayu untuk membangun rumah ini. Tapi ayahku tak mengatakan jawabannya dengan jelas; sambil tersenyum dia hanya berkata, 

            “Kau akan tahu saat kau meninggalinya dalam waktu yang lama”. 

         Awalnya aku tak tahu apa maksudnya, namun saat aku meninggali rumah ini dalam waktu yang lama seperti yang ayahku katakan, barulah aku merasakannya. Ehhhm...kayu-kayu ini sangat tahan di berbagai cuaca dan kau tahu, berapa usia rumah ini? Sudah hampir 100 tahun.
Baca selengkapnya

Sunday, 14 August 2016

THE APART-MENT  Chapter 1-2

THE APART-MENT Chapter 1-2

    Wah, biarpun dia sudah tua, cara berpakaiannya cukup terlihat tak biasa. Rambutnya yang sebahu itu diikat agak tinggi dengan menggunakan pita berwarna putih tulang dengan sisa pita yang menjuntai hampir setinggi bahunya, dia tampak anggun dengan dress kuning pastel berbunga yang menjuntai sampai menutupi lututnya, juga selembar bolero rajut coklat tipis dan oh, sepatunya... aku tak menyangka kalau sepatu all star putih, cocok melekat di kaki seorang wanita tua. Kalau kuperhatikan, bisa kutebak umurnya; kukira dia berumur 60 tahunan. Entahlah, mungkin karena kulitnya yang sudah mengeriput atau karena urat-urat di lengannya sudah mulai nampak jelas. Setelah berjalan beberapa langkah menyusuri jalan setapak, sampailah kami di depan pintu rumah dan nyonya Shelly mulai sibuk mengeluarkan rentengan kunci dari dalam saku bajunya. Terdengar suara gemerincing dari puluhan kunci yang dikaitkannya dengan sepotong kain. Nyonya Shelly begitu terlihat sibuk dengan kunci-kuncinya.

          “ehm..., mau ku bantu?” tanyaku. 

         “ah, tidak apa-apa. Aku ingin membiasanya diri dengan kunci-kunci ini” balasnya dengan senyuman. Astaga, sudah ada 8 kunci yang dicobanya tapi tak satu pun yang berhasil.                                                                                                       

          Karena aku mulai tak sabar, aku mulai bertanya kembali.                     
  
         “Bukannya tadi anda baru saja keluar dari rumah ini? Seharusnya pintunya tidak terkunci,,,” tiba-tiba, “klik”. Rupanya dia telah berhasil membukanya. “*pintu ini dirancang khusus agar bisa terkunci otomatis dan hanya akan bisa dibuka dari dalam. Jika aku tak membawa kunci ini, aku pasti sudah tidur di luar. Jendela itu – sambil menunjuk ke salah satu jendela sebelah kiri – sudah sering diganti karena aku terpaksa menjebolnya supaya aku bisa masuk dan mengambil kunci yang tergantung di pintu bagian dalam” jelasnya sambil tersenyum ke arahku.  (*pintu yang dimaksud adalah pintu dengan desain khusus yang dibuat agar terkunci otomatis saat pintu ditutup. Sisi pintu yang terletak di luar, tidak terdapat knop pemutar seperti pada sisi pintu bagian dalam; hanya terdapat sebuah handle yang berfungsi untuk menarik dan mendorong saja.
  
       “yaaah, kau tahu lah bagaimana orang-orang tua seperti aku terkadang lupa untuk mengunci pintu. Kau lihat kunci-kunci ini? Ini adalah kunci-kunci dari banyak ruangan di rumahku ini. Aku selalu membawanya bersamaku” jelasnya lebih lanjut; aku hanya tersenyum, menanggapi kata-katanya.

        "Masuklah" ajaknya ramah
Baca selengkapnya

Saturday, 6 August 2016

THE APART-MENT Chapter 1-1

THE APART-MENT Chapter 1-1

THE APART-MENT
Chapter I
Reven Det 36
          
19 November 1974, akhirnya sampai juga aku di sini, Reven Det 36. Tempat ini sungguh indah dan penuh dengan keunikan; sebuah kota yang terlihat seperti pedesaan tapi pedesaan yang bergaya modern. Rumah-rumah di sini tertata rapih saling berbaris berdempetan mengikuti lekukan lembah yang landai. Lingkungan di sekitar, bisa dibilang cukup sepih. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang, bahkan aku jarang melihat orang yang melintas. Setiap rumah yang aku lalui berukuran cukup besar untuk dihuni satu keluarga. Berada di tengah-tengah halaman yang cukup luas, rumah itu terdiri dari dua bangunan; ada bangunan utama dan ada bangunan lagi di sebelah atau di belakangnya – aku rasa itu adalah sebuah gudang penyimpanan atau sebuah garasi. Biarpun suasana di sini terasa agak aneh, tapi aku cukup dibuat tercengang dengan suasana di kota kecil ini. Dari dalam taxi yang ku tumpangi, aku mencermati betapa tempat ini begitu sunyi, tenang dan yang terpenting adalah, tempat ini begitu bersih. Aku bahkan tak melihat kotoran hewan di sepanjang jalan, atau sampah, bahkan udaranya sangat wangi; seperti bercampur aroma pepohonan dan sisa embun – ini seperti tempat yang selalu aku idam-idamkan untuk aku tinggali. Setidaknya akan lebih baik bila aku sudah memiliki keluarga sendiri. Anak-anakku pasti sangat senang berada di tempat ini. Aku rasa liburan kali ini aku sudah berada di tempat yang tepat.

Pukul satu siang, dan suasana masih begitu sejuk. Aku tak merasakan pancaran sinar matahari yang menusuk kulit. “luar biasa”, ungkapku perlahan sambil tersenyum lebar. “Huuuuft...” aku menghela nafasku lalu kusandarkan lagi tubuhku untuk kembali menikmati perjalanan. Tak lama, taksi yang kutumpangi berhenti di depan deretan tirai dedaunan dari tanaman merambat yang cukup panjang. Aku membuka jendela taksi, mencoba melihat apa yang sebenarnya terjadi, dan...      

“nona, kita sudah sampai” ucap supir taksi.   
                                                            
Aku melongok ke semua arah dari jendela taksi dan sepertinya aku masih ada di tengah jalan. Jalan itu berada di tengah-tengah hutan, hampir seluruh tempat tertutupi ranting-ranting pohon, daun-daun kering dan tanaman merambat yang tumbuh menjalin di antara dahan pohon.   
                             
“Dimana aku?” tanyaku. 
                                                                                  
“Maaf, saya hanya bisa mengantar anda sampai di sini, selanjutnya anda tinggal berjalan menyusuri jalan setapak itu – sambil menunjuk  ke arah sebuah pintu gerbang kecil. Tempat tujuan anda tak jauh dari sini”. 
                                          
Supir taksi itu begitu sopan, dengan senyum yang tersampir di wajah tuanya, ia membukakan pintu mobil dan mempersilahkan aku turun. Sopir taksi tua itu mulai mengeluarkan barang bawaanku dari bagasinya. Lalu aku mengambil kantung  uangku dan memberi beberapa dolar padanya.     
                  
“Terimakasih. Semoga hari anda menyenangkan, nona”, katanya.   
                  
Supir taksi tua itu masuk ke dalam taksinya lalu ia pun pergi


Pletak-pletok... suara roda dari koperku mulai terdengar saat aku menariknya; “ah, dasar koper sialan...” gumamku sambil mencoba menarik koper itu agar mau bergerak. Koperku itu adalah sebuah koper tua besar, terbuat dari kulit imitasi. Warnanya... sayangnya aku sudah tak megenali warna koper yang ku bawa – aku rasa itu warna coklat pastel yang sudah menjadi kelabu. Koper itu pemberian kakek buyutku untuk nenekku saat nenekku akan pergi belajar ke luar kota. Kemudian koper itu diberikan nenekku untuk ibuku, dan sekarang koper ini menjadi milikku. Yaaaah, seperti barang warisan yang katanya harus terus-menerus diwariskan. Koper itu begitu berat; aku yakin baju bawaanku jauh lebih ringan dan sialnya lagi, roda kopernya sudah tak berfungsi dengan baik. Mungkin setelah pulang dari liburan ini, aku akan langsung memajangnya di loteng rumahku. Aku yakin anak-anakku kelak tak akan mau memilikinya karena koper ini sudah terlalu tua dan terlihat tidak modis. 

Aku berdiri sesaat sambil terpaku di depan pagar kecil itu. Aku masih bisa melihat dari sudut mataku, taksiku mulai berjalan menjauh; bahkan suara mesin tuanya masih terdengar nyaring di telingaku dan asap hitam yang menyeruak dari knalpotnya, sejenak membuat pemandangan sekitar menjadi kelabu. Aku menghela nafasku lalu kubuka pagar kecil itu. Suara gesekan logam yang nyaring menandakan kalau engsel pagar itu sudah lama tak dilumasi. Aku berjalan langkah demi langkah menyusuri jalan setapak yang dimaksud sopir taksi tadi. Bau dedaunan yang menyatu dengan bau dari lembabnya tanah membuat hatiku terasa nyaman, dan pohon-pohon yang menjulang tinggi membuat mataku benar-benar dimanjakan dan senyumanku seakan tak ingin meninggalkan wajahku. Saat sedang menikmati suasana, terlihat dari kejauhan, sebuah rumah bergaya abad ke-16 bercat biru, dengan kursi ayun di depan terasnya dan sebuah papan nama yang terpancang di halaman depan yang bertuliskan “SELAMAT DATANG DI RUMAH SHELLY”. Hmmm...aku yakin dengan alamat yang kutuju. Seharusnya aku menuju ke Grand Shade. Apa sopir taksi tua tadi telah membodohiku? Kalau benar, aku akan sangat kesal.

Tak lama, aku melihat seseorang keluar dari rumah itu lalu melambaikan tangannya  sambil tersenyum lebar datang mendekat ke arahku,                  

  “halo, selamat datang! ... Perkenalkan, aku Shelly Banner. Kita berbicara di telepon beberapa hari lalu kan? Kau pasti... hmmm..., maafkan aku, aku tak terlalu bagus dalam mengingat nama seseorang”, sambut seorang wanita tua. “Lilian Bricks. Panggil saja aku Lilian”, aku membalas ucapannya sambil tersenyum dan meraih tangannya untuk bersalaman.                                            

 “mari ikuti aku, Lilian.” Nyonya Shelly mengajakku berjalan menuju rumahnya. “Bagaimana perjalan anda?” tanyanya. 

Sebuah pertanyaan yang cukup clishe; tentu saja aku amat lelah, setelah ribuan kilometer perjalanan laut dan ratusan kilometer perjalanan darat. Apa boleh buat, meskipun aku amat lelah dan sedang tak ingin banyak bicara, aku menghela dan menghembuskan nafas panjang lalu aku pun menjawab pertanyaannya,                                                                                                            

“luar biasa, aku amat menikmatinya. Bahkan setelah tiba di kota ini, aku merasa perjalananku menjadi jauh lebih menyenangkan.” dan wanita tua itu dengan wajah bebinar membalas, “haaaah, syukurlah. Tapi aku tahu kau sangat lelah. Mari ikuti aku” katanya. Aku berjalan tepat di belakang nyonya Shelly.








Baca selengkapnya